Apakah Anda mempunyai anak yang pernah tinggal kelas
atau kita lebih familiar dengan anak tidak naik kelas? Atau mungkin saya yakin
Anda familiar dengan kata “tinggal kelas atau tidak naik kelas” saat semester
genap masa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Bila kita amati secara jujur, anak biasanya (belum)
berhasil hanya pada mata pelajaran tertentu. Tapi ini bukan berarti anak kita
bodoh. Yang lebih parah lagi adalah bila misalnya anak kita mendapat angka
merah untuk pelajaran tertentu, misalnya pelajaran agama atau bahasa Indonesia,
maka anak kita diharuskan untuk tinggal kelas dan mengulang kembali semua
pelajaran lainnya. Bukankah ini adalah suatu pelecehan dan pembodohan? Anak
kita dipaksa untuk mengulang seluruh materi pelajaran yang sudah ia kuasai
hanya karena ada satu atau dua mata pelajaran yang mendapat angka merah. Saya
sampai saat ini tetap bingung dan tidak habis mengerti mengapa hanya karena
mendapat nilai merah pada mata pelajaran tertentu, akibatnya seorang murid
harus menghabiskan waktu satu tahun dari usianya yang sangat berharga hanya
untuk mengulang semua pelajaran di kelas yang sama?
Selain itu, dari manakah kita menetapkan kesepakatan
bahwa nilai rata-rata anak akan menentukan tingkat kecerdasan atau prestasi
akademisnya? Misalnya, anak kita nilai matematikanya 9, dan nilai olahraganya
6. Lalu rata-ratanya adalah 7,5. Berarti anak kita ini termasuk anak
biasa-biasa saja. Mengapa? Karena nilai rata-ratanya hanya 7,5. Anak ini kalah
pintar dibandingkan dengan temannya yang punya nilai rata-rata 8 karena
mendapatkan nilai olahraga 9 dan matematika 7. Apakah benar demikian? Ini sama
halnya dengan kita menjumlahkan 9 apel dengan 7 jeruk dan kita dapatkan
rata-rata buah apel dan jeruk sebesar 8. Sesuatu yang tidak masuk akal dan
sangat konyol. Saya sangat berharap agar anak diberi kesempatan untuk terus
naik kelas dan hanya mengulang pelajaran yang ia belum lulus, seperti sistem di
perguruan tinggi.
Sumber : Buku Born To Be A Genius Karya Adi W Gunawan
Comments
Post a Comment